skip to Main Content

Milad Ke-18 FISIP UAI Gelar Diskusi Daring Kampus Merdeka

  • UAI

Jakarta (14/07) – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al Azhar Indonesia (FISIP UAI) memperingati Milad atau Hari Ulang Tahun ke-18 pada 11 Juli 2020. Pada peringatan kali ini, acara Milad mengangkat tema diskusi “Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam Perangkap Kebijakan Kampus Merdeka” dan diselenggarakan melalui zoom dan livestreaming Youtube Keluarga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KM FISIP) UAI.

Milad ke-18 FISIP UAI menghadirkan narasumber Alien Mus, S.Sos. selaku Anggota DPR RI, Dr. Muhammad Sulhan selaku Ketua Umum Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi, Dr. Yusran selaku Ketua Umum Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia, Gita Karisma, S.IP, M.Si., selaku Dosen Hubungan Internasional Universitas Lampung. Webinar juga dihadiri oleh Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Prof.Dr.Ir Asep Saefuddin, M.Sc, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dr. Irwa Rochimah Zakarsi, SE, M.Si., para Kepala Pogram Studi Ilmu Komunikasi dan Ilmu Hubungan Internasional, para dosen, beserta mahasiswa.

Seperti yang diketahui, Kebijakan Kampus Merdeka memiliki 4 point penting, yaitu kebijakan mengenai otonomi perguruan tinggi untuk membuka program studi baru, sistem reakreditasi otomatis, perguruan tinggu berbadan hukum, dan hak mahasiswa untuk belajar lintas program studi selama 3 semester.

Dalam penyampaian materinya, Dr. Muhammad Sulhan mengatakan “saya melihat point terebut didasari oleh kerisauan mas menteri dan pak presiden mengenai kesiapan mahasiswa dalam menghadapi dunia pekerjaan,” ujarnya.  Namun bila mahasiswa dibebaskan untuk memilih lintas prodi, maka akan mengaburkan tujuan dari pembidangan prodi dan profesi.

Senada dengan Dr. Muhammad Sulhan, Dr. Yusran juga mengkritik kebijakan ini sebab akan menghilangkan ciri dari masing-masing program studi. Kebijakan Kampus Merdeka juga akan mengancam degradasi makna dari pendidikan itu sendiri, khususnya pada jenjang S1. Pada dasarnya perguruan tinggi bukan hanya mendidik mahasiswa untuk bekerja, melainkan membicarakan soal keilmuan. Kritik juga berlanjut pada persoalan biaya sks, gap kualitas, serta kerumitan administrasi. Tak sampai di situ, ia mengatakan “persoalan lain adalah menghilangkan mata kuliah yang tidak relevan, jika dihilangkan, lantas bagaimana nasib dosen mata kuliah tersebut?” ucapnya.

Alien Mus, S.Sos. yang merupakan alumni Program Studi Ilmu Komunikasi UAI juga berpendapat serupa. Pasalnya, kebijakan ini nampak tidak mempertimbangkan masalah pemerataan pendidikan di Indonesia. Perguruan tinggi di pusat kota akan berbeda kualitas serta fasilitasnya dengan perguruan tinggi yang berada di timur Indonesia. Sehingga, kebijakan ini akan membuat tumpang tindih kualitas saat mahasiswa diberi kebabasan untuk mengambil lintas prodi dan lintas universitas.

Dari sisi filososfi pendidikan itu sendiri, Gita Karisma, S.IP, M.Si., menyatakan setuju dengan narasumber lainnya. Namun, di sisi lain, praktik lapangannya menjadi berbeda akibat adanya globalisasi. Kondisi ini memaksa para lulusan perguruan tinggi untuk menyesuaikan diri menguasai bidang lain di luar program studinya.

Jauh sebelum kebijakan ini, generalisasi pekerjaan di Indonesia dirasakan oleh alumni Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UAI ini. Menurutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa universitas menjadi penyedia pasar dalam hal sumber daya. “Jika universitas kuat bersaing, maka akan mewarnai pasar, bukan didikte oleh pasar,” pesannya di penghujung materi.

Back To Top