skip to Main Content

Menanti Diplomasi Indonesia dalam Reformasi WHO di Tengah Pandemi

  • UAI

Selasa, 25 Agustus 2020 12:16 WIB

AKURAT.CO, Ada hal yang menarik pada kaus yang dikenakan Jerinx pada saat ia dan Masyarakat Nusantara Sehat (Manusia) melakukan aksi turun ke jalan bersama di Lapangan Renon, Denpasar, Bali pada 26 Juli 2020 lalu, yaitu tulisan “I Believe in Siti Fadilah”. Jerinx, musisi dari Bali, menyuarakan penolakan terhadap Rapid dan Swab Test sebagai syarat administrasi perjalanan. Ia mengikuti aksi tanpa protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan menjaga jarak. Jerinx juga populer dalam pandangannya bahwa COVID-19 merupakan sebuah konspirasi global. Kaus yang sama juga terlihat dikenakan oleh beberapa selebritis lainnya.

Tulisan ini tidak berupaya untuk mengamplifikasi diskursus bahwa COVID-19 adalah konspirasi, tetapi ada hal yang menarik yang diusung oleh Jerinx yaitu kepercayaannya terhadap Ibu Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009 yang pernah memperjuangkan reformasi organisasi kesehatan dunia (WHO/World Health Organization) pada saat timbulnya ancaman pandemi Avian Influenza (H5N1) tahun 2005 lalu.

Dalam buku yang ditulis Siti Fadilah Supari berjudul “Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”(2008), ia menuliskan bagaimana kritik, protes, dan diplomasi Indonesia di majelis WHO, khususnya terkait ketidakadilan dan tidak transparannya WHO dalam mekanisme pengiriman sampel virus (virus sharing), hak-hak negara negara-negara yang terancam pandemi, dan keterlibatan industri vaksin dan negara maju dalam kapitalisasi virus yang dikirimkan oleh negara-negara dunia ketiga.

Salah satu catatan Siti Fadilah Supari dalam bukunya adalah bahwa ia tidak ingin membiarkan virus yang berasal dari negara miskin atau berkembang, yang dikirimkan kepada WHO Collaborating Center, lalu menjadi vaksin yang dikembangkan di negara-negara maju yang djual kepada negara pengirim virus. Ia juga mengungkapkan bahwa 10% penduduk dunia saat ini menguasai 90% perdagangan vaksin yang memperlihatkan ketidakmerataan penguasaan teknologi, pengembangan, dan perdagangan vaksin.

Ia mencontohkan, sistem di WHO yang telah berlangsung selama 50 tahun, mengharuskan 110 negara yang terjangkit seasonal flu mengirimkan secara periodik spesimen virus kepada Global Influenza Surveillance Network (GISN) dan menjadi milik lembaga tersebut. Dari spesimen virus tersebut, akan dianalisis risikonya dan dilakukan berbagai penelitian yang juga dapat diproses menjadi seed virus untuk membuat vaksin. Setelah menjadi vaksin dan didistribusikan kepada berbagai negara, negara pengirim virus sekalipun harus membelinya sesuai dengan harga yang ditetapkan produsen vaksin tanpa mempertimbangkan bahwa negara yang mengirimkan virus sebetulnya merupakan negara miskin/berkembang yang sedang terjangkit dan memiliki problem sosial-ekonomi. Bagaimana hubungan antara WHO-GISN-industri vaksin adalah hal yang pertanyakan oleh Siti Fadilah dan dianggap sebagai suatu hal yang tidak beres. Mekanisme serupa juga dilakukan oleh WHO manakalah lembaga ini menghadapi ancaman pandemi H5N1 pada 2005 lalu. Negara-negara yang mengirimkan virus tidak mengetahui akhir dari perjalanan virus tersebut setelah di tangan WHO. Apakah menjadi vaksin yang kemudian di perjual-belikan negara industri vaksin kepada negara miskin yang mengalami epidemi? Hal inilah yang dirasakan tidak adil.

Saat dipimpin oleh Siti Fadilah Supari, Kementerian Kesehatan berupaya untuk menyuarakan ketidakadilan ini melalui diplomasinya dan menginisiasi pengiriman virus yang lebih transparan dengan mengirimkan virus yang dikirim ke WHO, juga dikirim ke Bank Gen (gene bank) agar dapat diteliti oleh berbagai ilmuwan di seluruh dunia. Menteri kesehatan pada waktu itu memperjuangkan agar Indonesia sebagai negara yang memiliki ‘sumber’ virus dapat mengembangkan vaksin secara mandiri, bukan hanya dengan mengirimkan spesimen virus dan menunggu kebaikan hati negara produsen vaksin untuk mendapatkan hadiah atau dengan membelinya.

Salah satu keberhasilan diplomasi Kementerian Kesehatan pada 2007, adalah terselenggaranya High Level Meeting (HLM) dan High Level Technical Meeting (HLTM) on Responsible Practices for Sharing Avian Influenza Viruses and Resulting Benefits untuk menyusun rancangan kesepakatan baru yang dihadiri para menteri kesehatan dan pejabat senior negara-negara yang terjangkit Flu Burung. Hasil dari pertemuan ini adalah sebuah Deklarasi Jakarta yang mendesak rezim kesehatan internasional WHO untuk merancang mekanisme baru terkait pengiriman virus (virus sharing) yang adil dan transparan, serta mereformasi sistem GISN yang dinilai tidak adil.

Deklarasi Jakarta tersebut kemudian dibawa ke Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) Tahun 2007 di Jenewa untuk diperjuangkan menjadi dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding). Di sidang antar pemerintah, Indonesia melalui delegasi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri memperjuangkan bahwa pengiriman virus (virus sharing) adalah hak kedaulatan yang tidak dapat dikompromikan dan harus adanya pembagian manfaat (benefit sharing) yang diperoleh negara pengirim virus sebagai hak, dan bukan amal atau kemurahan hati (charity) dari negara maju.

Upaya Indonesia tidak mudah. Delegasi Indonesia, termasuk Menteri Kesehatan pada waktu itu seringkali didekati untuk mengubah pandangannya oleh pejabat WHO, maupun pejabat negara maju yang pandangannya berseberangan. Indonesia juga perlu meyakinkan negara-negara lain untuk mendukung pandangan Indonesia di forum WHA tersebut. Indonesia juga menghadapi ancaman deadlock karena tidak bertemunya kesepakatan antar negara, mengingat resolusi yang diperjuangkan di forum WHA ditentang oleh negara-negara maju. Perjuangan sengit diplomat Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri berakhir dengan suspend karena poin keenam dari enam poin yang diajukan Indonesia tidak mendapat persetujuan delegasi negara-negara. Perjuangan Indonesia dan beberapa negara lain dalam Majelis Kesehatan Dunia mengonfirmasi bahwa urusan kesehatan merupakan urusan yang tidak lepas dari politik internasional.

Seruan reformasi terhadap WHO tidak pernah berhenti, bahkan terus bergulir kuat pada pandemi COVID-19 saat ini. Bersumber dari Jurnal The Lancet (2019), reformasi pula lah yang yang dikehendaki oleh Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus pada pidato pelantikannya sebagai Direktur Jenderal WHO. Ia menargetkan reformasi yang paling luas sepanjang sejarah WHO sebagai hasil konsultasi selama 20 bulan terkait reformasi WHO. Terdapat beberapa hal yang perlu di reformasi di WHO, antara lain:

Pertama, organisasi WHO yang memiliki enam direktur regional (Regional Directors/RG) yang dipilih secara lokal dan memiliki otonomi signifikan membuat WHO menjadi terfragmentasi. WHO dikenal menjadi tujuh WHO. Hal ini inilah yang menjadi masalah. Khususnya terkait kepemimpinan, strategi, dan kapabilitas WHO, dalam menangani pandemi. Target Dr. Tedros adalah membuatnya menjadi satu WHO.

Kedua, terkait dengan struktur pendanaan (funding) WHO. Saat ini, WHO sangat bergantung kepada pendonor sukarela yang bervariasi dan rawan diatur oleh kepentingan pendonor. Dr. Tedros menjanjikan bahwa ia akan melakukan reformasi besar dalam hal pendanaan dengan memusatkan penggalangan dana kepada satu departemen dan mendiversifikasi sumber pendanaan sehingga mengurangi ketergantungan kepada pendonor besar. Salah satu yang ia rancang ialah membentuk WHO Foundation untuk mengembangkan pendanaan yang inovatif.

Ketiga, terkait dengan tekanan politik yang disuarakan oleh negara-negara anggota WHO. Reformasi WHO dimaksudkan agar ia independen dari tekanan politik. Banyak kritik dialamatkan kepada Dr. Tedros terkait manajemen politisasi dalam penanganan pandemi. Jerman berpandangan, bahwa WHO harus bereaksi secara netral dan merujuk kepada fakta peristiwa kesehatan Global. Kritik lebih keras diutarakan Amerika Serikat (AS) yang menilai WHO terlalu dekat dengan Tiongkok, keliru menghadapi Pandemi COVID-19, serta dorngan perlunya investigasi terhadap WHO. Hal ini pula lah yang menjadi alasan AS keluar dari WHO.

Momentum Indonesia untuk Reformasi WHO

Reformasi WHO menjadi sebuah keniscayaan agar rezim kesehatan internasional menjadi organisasi yang transparan, kapabel, dan merdeka dari tekanan politik berbagai aktor internasional. Reformasi ini bukanlah sesuatu yang hanya dituntut oleh kelompok pendukung konspirasi, tapi tuntutan dari berbagai aktor internasional yang menilai adanya ketidakadilan dan ketidakpuasan terhadap peran WHO dalam menangani pandemi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Indonesia, pernah menyuarakan reformasi WHO dan berbagai negara lain kini juga menyuarakannya. Pandemi COVID-19 menjadi momentum Indonesia untuk kembali mengambil peran dalam reformasi WHO dan turut membuat sejarah dalam merevisi mekanisme dan tata kerja di WHO dalam menangani kesehatan global yang mengancam penduduk dunia.

Sumber
Akurat.co

Back To Top